Saturday, December 15, 2012

Kecantikan Alami Pantai Padang-padang #bridgingcourse15bonus #feature

Kendaraan pribadi beroda empat melaju dengan kecepatan sedang di jalanan berbukit. Kondisi jalan tampak lengang, tidak seperti di Kuta. Pemandangan pepohonan kapuk terdapat di sepanjang jalan beraspal menuju Pantai Padang-padang.
Pulau Bali sudah lama menjadi destinasi wisata favorit para wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun domestik. Bali terkenal sebagai pulau tropis yang kaya dengan pantai-pantai eksotis. Pantai yang terkenal dan banyak dikunjungi antara lain Pantai Kuta, Pantai Sanur, dan Pantai Nusa Dua. Sayangnya, masih banyak pantai dengan kecantikan alami yang belum banyak diketahui para wisatawan seperti pantai Padang-padang.
Pantai Padang-padang terletak di Jalan Labuhan Sait, Desa Pecatu. Pantai ini merupakan salah satu pantai di kawasan Uluwatu. Pantai Dreamland merupakan contoh pantai lain dalam kawasan tersebut. Dibutuhkan waktu sekitar 45 menit dari Bandara Ngurah Rai  Bali untuk mencapai Pantai Padang-padang menggunakan mobil.
Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore sesampainya di area parkir yang luas. Langit terlihat sangat cerah dengan sedikit awan. Kesejukan dari angin laut langsung terasa. Namun, rasa penasaran dan tak sabar muncul lantaran area pantai Padang-padang belum terlihat. Pantai ini terkesan seperti pantai yang tersembunyi.
Untuk menuju area Pantai Padang-padang, dibutuhkan sedikit berjalan kaki dari area parkir. Terdapat pura khas Bali di jalan masuk menuju pantai. Uniknya, pengunjung pantai harus menuruni tangga sempit yang dibuat diantara dua tebing dan hanya muat satu orang saja.
Menapaki anak tangga terakhir, area pantai dapat terlihat dengan sangat jelas. Angin laut yang sejuk menerpa wajah. Hamparan pasir putih dan air laut yang jernih tampak berwarna biru kehijauan berada di depan mata. Terdengar suara gulungan ombak. Tebing batu karang dengan tanaman rimbun mengelilingi pantai Padang-padang yang tidak terlalu luas, sehingga pantai tersebut terkesan tersembunyi dan private. Selain itu juga terdapat banyak bebatuan besar. Hal-hal tersebut menghasilkan sebuah kombinasi yang memancarkan pesona kecantikan alami pantai Padang-padang.
Sejauh mata memandang, terlihat banyak turis asing sedang berjemur dengan santai beralaskan kain bali dan beberapa penjual dengan barang dagangannya di pinggir pantai. Beberapa turis asing hanya bersantai dibawah payung pantai sambil membaca buku atau menikmati jasa pijat yang ditawarkan oleh penduduk setempat. Wisatawan lain terlihat berenang di laut, duduk di kafe pinggir pantai, atau hanya berjalan-jalan di pinggir pantai.
Pengunjung Pantai Padang-padang masih tergolong sedikit karena belum banyak wisatawan yang mengetahui keberadaan pantai tersebut, sehingga pantai masih sepi, bersih, dan terjaga kealamiannya. Mayoritas pengunjung adalah wisatawan mancanegara. Menurut seorang tour guide, turis asing sengaja mencari pantai yang masih sepi pengunjung karena menurut mereka Pantai Kuta sudah terlalu ramai dan tidak nyaman.
Pantai Padang-padang mulai banyak diketahui orang sejak dipakai sebagai tempat shooting film Hollywood ‘Eat Pray Love’ yang diperankan oleh aktris ternama Julia Roberts. Selain itu, Pantai Padang-padang juga sering dijadikan tempat foto pre-wedding karena kecantikan alami pantainya dan terkadang menjadi tempat perlombaan surfing.
      Supaya lebih puas, sebelum meninggalkan tempat wisatawan dapat melihat dan menikmati keseluruhan pemandangan Pantai Padang-padang dari jembatan dekat area parkir, serta mengabadikan foto disana.
           Diharapkan keberadaan Pantai Padang-padang dapat menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun mancanegara sehingga pariwisata di Bali semakin maju, dan yang paling penting adalah kebersihan serta kecantikan alami pantai Padang-padang dapat tetap terjaga.

Saturday, December 8, 2012

Pentingnya Pendidikan Multikultural Di Indonesia #bridgingcourse14

Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau sehingga disebut negara kepulauan. Kondisi pulau yang saling terpisah mengakibatkan adanya isolasi geografis. Isolasi geografis menyebabkan pulau-pulau di Indonesia memiliki kultur berbeda-beda. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara multikultural terbesar di dunia dengan beragam suku bangsa, ras, bahasa, adat istiadat, dan kepercayaan.
Menurut Direktur Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Dermawan dalam, Indonesia memiliki 13.847 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke (Daeng, 2011). Terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa yang mendiami pulau-pulau tersebut. Hal tersebut menciptakan masyarakat multikultural.
Keragaman kultur berdampak positif bagi bangsa Indonesia sebagai kekayaan dan kebanggaan bangsa. Namun, keragaman tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pula, seperti perang antarsuku dan konflik antarumat beragama yang banyak terjadi di Indonesia. Diperlukan strategi khusus untuk memecahkan dan mencegah berbagai persoalan dalam masyarakat multikultural, salah satunya adalah melalui pendidikan multikultural.
Multikultural berasal dari dua kata, multi dan kultural. Multi berarti banyak atau beragam, sedangkan kultur berarti kebudayaan. Secara sederhana, multikultural diartikan sebagai banyak kebudayaan atau beragam kebudayaan. Waluya (2007:105) mengartikan masyarakat multikultural sebagai masyarakat yang memiliki lebih dari dua kebudayaan.
Pendidikan memiliki peran strategis sebagai wahana dan agen perubahan bagi masyarakat. Itulah sebabnya pendidikan menjadi salah satu bidang penting dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Suparno dkk. (2002:80) mengatakan, "Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang membuat dan menciptakan situasi sekolah dan kegiatannya sehingga semua siswa dari berbagai suku, ras, budaya, dan keadaan mendapat kesempatan belajar dengan baik”. Sekolah tidak hanya menjadi tempat untuk mempelajari berbagai mata pelajaran, namun sekaligus menjadi tempat untuk menumbuhkan sikap terbuka terhadap keragaman budaya dalam proses pembelajarannya. Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa. Secara luas, pendidikan multikultural mengajarkan untuk tidak membeda-bedakan kelompok seperti gender, suku bangsa, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Pendidikan multikultural sebaiknya diterapkan sejak dini dan terus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan banyak sekali hal-hal baru yang terus muncul dari budaya masyarakat yang senantiasa berkembang, sehingga pendidikan multikultural tidak bisa dihentikan begitu saja pada tahap tertentu melainkan harus terus-menerus dikembangkan dan diresapi oleh masyarakat dalam kehidupannya.
Pendidikan multikultural hendaknya tidak hanya diajarkan di dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan perguruan tinggi, namun juga diajarkan di dalam pendidikan informal maupun nonformal.  Pada awalnya, pendidikan multikultural dimulai dari keluarga sebagai pendidikan informal. Keluarga, khususnya orang tua harus mengajarkan dan  menanamkan sikap terbuka, saling mengargai, menghormati, dan peduli pada anaknya.  Pendidikan multikultural kemudian diteruskan di dunia pendidikan formal maupun nonformal, dan terus diiringi dengan pendidikan informal. Misalnya di perguruan tinggi, dari segi substansi pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang memiliki perspektif multikultural, seperti melalui mata kuliah pancasila dan kewarganegaraan.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, keragaman tersebut tidak dimanfaatkan sebagai sarana pemersatu bangsa sehingga menyebabkan berbagai masalah sosial yang sukar ditangani di Indonesia, seperti KKN, separatisme, kemiskinan dan berbagai permasalahan sosial lainnya yang kompleks. Permasalahan tersebut timbul sebagai akibat sikap eksklusif masyarakat yang sudah melekat pada diri mereka. Dalam hal ini, sikap eksklusif masyarakat ini mencerminkan sikap tertutup terhadap keragaman yang ada. Untuk memahami keragaman yang ada, dibutuhkan pendidikan multikultural. Maka dipandang sangat penting untuk memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Menurut The United Nations Development Program (UNDP), Indonesia berada pada peringkat 124 dari 187 negara yang disurvei di dunia dari segi indeks pembangunan manusia (Maulia, 2011).  Ini sangat disayangkan karena Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia melimpah, begitu juga dengan Sumber Daya Alamnya. Hal tersebut diakibatkan oleh banyaknya konflik yang terjadi dalam masyarakat multikultural.
Sesungguhnya keragaman di Indonesia merupakan kekayaan terbesar bangsa kita yang dapat digunakan sebagai alat pemersatu bangsa, dan bukan sebagai penghambat dalam kehidupan bermasyarakat. Dibutuhkan kesadaran untuk saling menghargai, saling melengkapi, toleransi, dan saling terbuka dalam keragaman yang ada melalui pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultural itu sendiri sangat penting disosialisasikan dan diterapkan pada bangsa kita, agar kita dapat saling mengerti, memahami, dan saling menghargai perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Pendidikan multikultural juga penting agar masyarakat dalam kehidupannya dapat  memikirkan, membicarakan, dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Dengan begitu, dalam perkembangannya multikulturalisme dapat menjadi kebanggaan bangsa dan bukan sebagai jurang pemisah diantara masyarakat. Hal tersebut juga dapat menjadi jembatan untuk saling melengkapi satu-sama lain.
Sikap terbuka dalam kehidupan bermasyarakat nantinya dapat menciptakan kualitas SDM yang lebih baik dari sebelumnya dan mampu bersaing secara global. Adanya sikap terbuka dan saling menghargai keragaman akan menghilangkan sekat-sekat atau batasan-batasan yang ada di masyarakat. Dengan tidak adanya sekat-sekat maka masyarakat akan lebih mudah bertukar pandangan, pikiran, pendapat yang membantu masyarakat Indonesia untuk dapat saling melengkapi. Bayangkan saja jika masyarakat saling tertutup, maka masyarakat hanya akan mengutamakan kepentingan dan pandangannya sendiri yang tentu akan membuatnya sulit untuk berkembang mengikuti arus global. Dengan begitu maka akan banyak hal positif yang dapat diserap sehingga dapat terjadi peningkatan kualitas SDM.
Apabila masyarakat sudah menerima keragaman yang ada, kemudahan dalam berinteraksi dan berkomunikasi satu dengan yang lain akan lebih mudah. Sebab, dengan adanya penerimaan masyarakat akan kecil kemungkinan terjadi konflik sosial seperti perang antarsuku atau kerusuhan antarumat beragama, karena masyarakat telah memahami keragaman yang ada pada bangsa kita.
Kemungkinan besar sikap etnosentrisme, primordialisme, paternalistis dan prasangka juga akan hilang dan digantikan dengan sikap menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan toleransi. Sikap-sikap yang demikian akan membuat SDM yang ada di Indonesia semakin berkualitas. Keadilan pun tercipta sehingga SDM yang ada di Indonesia dapat bersaing secara sehat dan tidak kalah bersaing dengan SDM yang ada di luar Indonesia. Pada akhirnya, SDM di Indonesia mampu bersaing secara global.


Daftar Pustaka

Daeng, Mohamad Final. 2011. “Indonesia Daftarkan 13.487 Pulau ke PBB”.  Dalam Kompas, 1 November 2011. Jakarta. 
Maulia, Erwida. 2011. “Indonesia Ranks 124th in 2011 Human Development Index”. Dalam The Jakarta Post, 2 November 2011. Jakarta.
Suparno, Paul dkk. 2002. Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Kanisius.
Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Saturday, December 1, 2012

Marginalitas dan Bajaj Bajuri #bridgingcourse13

           Krisis moneter menyisakan dampak sosial dan ekonomi yang masih dapat dirasakan hingga detik ini. Dalam buku Krisis Masa Kini dan Orde Baru disebutkan, “Jatuhnnya nilai rupiah secara mengejutkan dan berentetan sejak pertengahan Juli 1997 adalah sebagai akibat dari kehilangan kepercayaan secara tiba-tiba terhadap rupiah dari para investor dan pelaku ekonomi lainnya” (Hisyam, 2003:269). Konsekuensi dari krisis moneter antara lain adalah timbulnya kesenjangan sosial dan marginalitas.
            Saat ini kata marginalitas banyak dipakai dan disebut di banyak tempat. Marginalitas berasal dari kata marginal yang secara etimologis berarti berhubungan dengan tepi atau berada dipinggir. Dalam konteks masa kini, marginalitas lebih banyak diartikan sebagai keterpinggiran ekonomi dan identik dengan masyarakat kelas menengah ke bawah yang mana memiliki penghasilan pas-pasan atau bahkan kurang. Biasanya, masyarakat kelas ini memang tinggal di pinggiran wilayah metropolitan seperti Jakarta. Maka masyarakat yang terpinggirkan (kaum pinggiran) disebut juga kaum marginal.  
Marginalitas selalu menjadi isu penting di Indonesia. Tidak sedikit media mengangkat isu marginalitas menjadi sebuah karya, antara lain dalam bentuk film ataupun sinetron. Dalam film atau sinetron buatan Indonesia, kita akan banyak menjumpai peran si kaya dan si miskin (Sabilurrosyad, 2012). Tokoh si kaya biasanya akan menjadi tokoh yang dominan, jahat, sombong, memiliki gaya hidup berlebihan, dan selalu mengejek si miskin. Sedangkan si miskin biasanya memiliki wajah memelas, baik hati, pasrah, tertindas, dan hidupnya selalu diselimuti kesedihan. Dari sini muncul stereotip mengenai orang kaya dan orang miskin didalam masyarakat.
Anti-mainstream atau berbeda dengan yang sudah ada, Aris Nugraha dan kedua temannya justru menulis skenario yang mengangkat tema marginalitas dan menjadikan marginalitas sebagai sebuah cerita komedi untuk sinetron berjudul Bajaj Bajuri. Sinetron komedi Bajaj Bajuri mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan dan menjadi tayangan favorit selama kurang lebih tiga tahun.
Popularitas sinetron komedi Bajaj Bajuri di Indonesia mendorong seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadja Mada Yogyakarta, Budi Irawanto, untuk melakukan penelitian tentang batas-batas marginalitas dalam sinetron komedi Bajaj Bajuri. Hasil penelitian tersebut ditulis dalam sebuah jurnal berjudul “Menertawakan Kejelataan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri”.
Dilihat dari judulnya, jurnal tersebut sudah menarik perhatian pembacanya. Saat pertama membaca judulnya, orang akan berpikir bagaimana bisa kejelataan ditertawakan. Namun saat membaca keseluruhan judul dan membaca Bajaj Bajuri, akan mulai terlihat maksud dari menertawakan kejelataan. Judul tersebut sudah cukup mewakili dan sesuai dengan keseluruhan isi jurnal. Selain itu juga memenuhi syarat sebuah judul agar dapat menarik perhatian dan membuat pembaca mau membaca keseluruhan isi bacaan.
     Susunan jurnal ini cukup teratur. Penulis memulainya dengan menulis pendahuluan yang mengantarkan pembaca pada pokok masalah yang akan dibahas. Banyak dicantumkan fakta-fakta menarik dan penulis juga menyebutkan metode penelitiannya, yaitu analisa tekstual. Metode tersebut juga digunakan dalam studi penulis mengenai marginalitas anak-anak jalanan di Yogyakarta.
Jurnal tersebut dibagi ke dalam empat bagian, belum termasuk pendahuluan dan penutup. Dalam keempat bagian tersebut dijelaskan secara runtut, lengkap, dan berkesinambungan hal-hal yang berhubungan dengan pokok masalah yang dibahas.
Bagian pertama menceritakan pertumbuhan sinetron di Indonesia. Setelah membaca bagian pertama, pembaca dapat mengetahui sejarah lengkap dan pasang surut pertumbuhan sinetron di Indonesia, mulai dari sinetron pertama di TVRI pada tahun 1962 (Nasution, 1995:320) sampai pertumbuhan sinetron pascakrisis moneter.
Bagian kedua penulis mencoba menuliskan mengenai mimpi dan imaji yang ditampilkan dalam sinetron Indonesia. Pada bagian ini akan terlihat perbedaan pesan dalam sinetron zaman Orde Baru dan sinetron masa kini walaupun imajinya sama, yaitu kehidupan masyarakat kelas menengah ke atas di kota-kota besar. Dari kejenuhan akan imaji tersebut, mulai banyak muncul sinetron Betawi yang menciptakan imaji kehidupan sederhana etnis Betawi dan masyarakat pinggiran kelas menengah ke bawah (kaum marginal). Kemudian muncul sinetron komedi Betawi Bajaj Bajuri yang juga sukses mengambil hati masyarakat.
        Batas marginalitas dalam Bajaj Bajuri dibahas pada bagian ketiga. Dalam bagian ini dijelaskan karakter khas dan unik setiap tokoh dan beberapa hal lain yang menjadi kelebihan sinetron komedi Bajaj Bajuri dibandingkan sinetron lainnya. Selain itu juga dibahas berbagai penanda sebagai batas marginalitas, antara lain rumah yang saling berimpit dan ruang tamu yang dipakai sebagai salon.
Pada bagian keempat, penulis membahas tentang melampaui marginalitas. Bagian ini berisi penjelasan istilah “transgresi” dan kemungkinan alasan yang dapat membuat sinetron komedi Betawi Bajaj Bajuri begitu digemari masyarakat dan memperoleh rating tinggi.
Jurnal ini membahas suatu sinetron dengan cara yang berbeda. Kebanyakan penulis lain menulis tentang dampak negatif sinetron terhadap perilaku seseorang. Selain itu, informasi yang disajikan dalam jurnal ini sangat banyak dan beragam, mulai dari pendapat para ahli dalam buku hingga pendapat berbagai tokoh terkenal dalam surat kabar seperti Garin Nugroho. Semua informasi tersebut semakin memperkaya tulisan.
Penulis memiliki kemampuan analisis yang baik untuk menjabarkan hasil penelitiannya dan membahas masalah dengan cukup tuntas. Antarbagian dalam jurnal tersebut berkesinambungan dan tetap di dalam batasan masalah yang dibahas.  Bahasa yang digunakan mudah dimengerti, walaupun terdapat beberapa istilah yang jarang digunakan seperti imaji dan transgresi. Istilah tersebut tidak lupa dijelaskan oleh penulis agar tidak muncul kerancuan dalam istilah.
Kekurangan jurnal ini adalah ada beberapa referensi yang dipakai tidak dicantumkan di dalam daftar pustaka. Sehingga jika pembaca ingin mencari sumber referensi tersebut sebagai tambahan bacaan akan sedikit kesulitan. Namun secara keseluruhan, jurnal ini menjadi bahan bacaan yang bagus dan baik digunakan untuk menambah wawasan dan dijadikan sebagai referensi untuk membuat tulisan lain.


DAFTAR PUSTAKA

Hisyam, Muhamad (Ed.). 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Irawanto, Budi. 2006. Menertawakan Kejelataan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 3, Nomor 1, Halaman 49-62.
Nasution, Yusman. 1995. Radio, Televisi dan Film dalam Era 50 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Departemen Penerangan.
Sabilurrosyad, Osyad M. 2012. Drama Korea Vs Sinetron Indonesia. Accessed 14 December 2012 at 14.39 WIB. Archieved at http://www.koranjurnalpkspd.com/read.php?id=326.