Saturday, December 1, 2012

Marginalitas dan Bajaj Bajuri #bridgingcourse13

           Krisis moneter menyisakan dampak sosial dan ekonomi yang masih dapat dirasakan hingga detik ini. Dalam buku Krisis Masa Kini dan Orde Baru disebutkan, “Jatuhnnya nilai rupiah secara mengejutkan dan berentetan sejak pertengahan Juli 1997 adalah sebagai akibat dari kehilangan kepercayaan secara tiba-tiba terhadap rupiah dari para investor dan pelaku ekonomi lainnya” (Hisyam, 2003:269). Konsekuensi dari krisis moneter antara lain adalah timbulnya kesenjangan sosial dan marginalitas.
            Saat ini kata marginalitas banyak dipakai dan disebut di banyak tempat. Marginalitas berasal dari kata marginal yang secara etimologis berarti berhubungan dengan tepi atau berada dipinggir. Dalam konteks masa kini, marginalitas lebih banyak diartikan sebagai keterpinggiran ekonomi dan identik dengan masyarakat kelas menengah ke bawah yang mana memiliki penghasilan pas-pasan atau bahkan kurang. Biasanya, masyarakat kelas ini memang tinggal di pinggiran wilayah metropolitan seperti Jakarta. Maka masyarakat yang terpinggirkan (kaum pinggiran) disebut juga kaum marginal.  
Marginalitas selalu menjadi isu penting di Indonesia. Tidak sedikit media mengangkat isu marginalitas menjadi sebuah karya, antara lain dalam bentuk film ataupun sinetron. Dalam film atau sinetron buatan Indonesia, kita akan banyak menjumpai peran si kaya dan si miskin (Sabilurrosyad, 2012). Tokoh si kaya biasanya akan menjadi tokoh yang dominan, jahat, sombong, memiliki gaya hidup berlebihan, dan selalu mengejek si miskin. Sedangkan si miskin biasanya memiliki wajah memelas, baik hati, pasrah, tertindas, dan hidupnya selalu diselimuti kesedihan. Dari sini muncul stereotip mengenai orang kaya dan orang miskin didalam masyarakat.
Anti-mainstream atau berbeda dengan yang sudah ada, Aris Nugraha dan kedua temannya justru menulis skenario yang mengangkat tema marginalitas dan menjadikan marginalitas sebagai sebuah cerita komedi untuk sinetron berjudul Bajaj Bajuri. Sinetron komedi Bajaj Bajuri mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan dan menjadi tayangan favorit selama kurang lebih tiga tahun.
Popularitas sinetron komedi Bajaj Bajuri di Indonesia mendorong seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadja Mada Yogyakarta, Budi Irawanto, untuk melakukan penelitian tentang batas-batas marginalitas dalam sinetron komedi Bajaj Bajuri. Hasil penelitian tersebut ditulis dalam sebuah jurnal berjudul “Menertawakan Kejelataan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri”.
Dilihat dari judulnya, jurnal tersebut sudah menarik perhatian pembacanya. Saat pertama membaca judulnya, orang akan berpikir bagaimana bisa kejelataan ditertawakan. Namun saat membaca keseluruhan judul dan membaca Bajaj Bajuri, akan mulai terlihat maksud dari menertawakan kejelataan. Judul tersebut sudah cukup mewakili dan sesuai dengan keseluruhan isi jurnal. Selain itu juga memenuhi syarat sebuah judul agar dapat menarik perhatian dan membuat pembaca mau membaca keseluruhan isi bacaan.
     Susunan jurnal ini cukup teratur. Penulis memulainya dengan menulis pendahuluan yang mengantarkan pembaca pada pokok masalah yang akan dibahas. Banyak dicantumkan fakta-fakta menarik dan penulis juga menyebutkan metode penelitiannya, yaitu analisa tekstual. Metode tersebut juga digunakan dalam studi penulis mengenai marginalitas anak-anak jalanan di Yogyakarta.
Jurnal tersebut dibagi ke dalam empat bagian, belum termasuk pendahuluan dan penutup. Dalam keempat bagian tersebut dijelaskan secara runtut, lengkap, dan berkesinambungan hal-hal yang berhubungan dengan pokok masalah yang dibahas.
Bagian pertama menceritakan pertumbuhan sinetron di Indonesia. Setelah membaca bagian pertama, pembaca dapat mengetahui sejarah lengkap dan pasang surut pertumbuhan sinetron di Indonesia, mulai dari sinetron pertama di TVRI pada tahun 1962 (Nasution, 1995:320) sampai pertumbuhan sinetron pascakrisis moneter.
Bagian kedua penulis mencoba menuliskan mengenai mimpi dan imaji yang ditampilkan dalam sinetron Indonesia. Pada bagian ini akan terlihat perbedaan pesan dalam sinetron zaman Orde Baru dan sinetron masa kini walaupun imajinya sama, yaitu kehidupan masyarakat kelas menengah ke atas di kota-kota besar. Dari kejenuhan akan imaji tersebut, mulai banyak muncul sinetron Betawi yang menciptakan imaji kehidupan sederhana etnis Betawi dan masyarakat pinggiran kelas menengah ke bawah (kaum marginal). Kemudian muncul sinetron komedi Betawi Bajaj Bajuri yang juga sukses mengambil hati masyarakat.
        Batas marginalitas dalam Bajaj Bajuri dibahas pada bagian ketiga. Dalam bagian ini dijelaskan karakter khas dan unik setiap tokoh dan beberapa hal lain yang menjadi kelebihan sinetron komedi Bajaj Bajuri dibandingkan sinetron lainnya. Selain itu juga dibahas berbagai penanda sebagai batas marginalitas, antara lain rumah yang saling berimpit dan ruang tamu yang dipakai sebagai salon.
Pada bagian keempat, penulis membahas tentang melampaui marginalitas. Bagian ini berisi penjelasan istilah “transgresi” dan kemungkinan alasan yang dapat membuat sinetron komedi Betawi Bajaj Bajuri begitu digemari masyarakat dan memperoleh rating tinggi.
Jurnal ini membahas suatu sinetron dengan cara yang berbeda. Kebanyakan penulis lain menulis tentang dampak negatif sinetron terhadap perilaku seseorang. Selain itu, informasi yang disajikan dalam jurnal ini sangat banyak dan beragam, mulai dari pendapat para ahli dalam buku hingga pendapat berbagai tokoh terkenal dalam surat kabar seperti Garin Nugroho. Semua informasi tersebut semakin memperkaya tulisan.
Penulis memiliki kemampuan analisis yang baik untuk menjabarkan hasil penelitiannya dan membahas masalah dengan cukup tuntas. Antarbagian dalam jurnal tersebut berkesinambungan dan tetap di dalam batasan masalah yang dibahas.  Bahasa yang digunakan mudah dimengerti, walaupun terdapat beberapa istilah yang jarang digunakan seperti imaji dan transgresi. Istilah tersebut tidak lupa dijelaskan oleh penulis agar tidak muncul kerancuan dalam istilah.
Kekurangan jurnal ini adalah ada beberapa referensi yang dipakai tidak dicantumkan di dalam daftar pustaka. Sehingga jika pembaca ingin mencari sumber referensi tersebut sebagai tambahan bacaan akan sedikit kesulitan. Namun secara keseluruhan, jurnal ini menjadi bahan bacaan yang bagus dan baik digunakan untuk menambah wawasan dan dijadikan sebagai referensi untuk membuat tulisan lain.


DAFTAR PUSTAKA

Hisyam, Muhamad (Ed.). 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Irawanto, Budi. 2006. Menertawakan Kejelataan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 3, Nomor 1, Halaman 49-62.
Nasution, Yusman. 1995. Radio, Televisi dan Film dalam Era 50 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Departemen Penerangan.
Sabilurrosyad, Osyad M. 2012. Drama Korea Vs Sinetron Indonesia. Accessed 14 December 2012 at 14.39 WIB. Archieved at http://www.koranjurnalpkspd.com/read.php?id=326.

1 comment:

  1. Leo_jelek
    Uraian yang mengelitik memang bila melihat kemonotonan dari apa yang selama ini terjadi. ada banyak hal menarik yang ada disekitar kita yang dapat diangkat. termasuk keluguan dari kaum menengah ke bawah.
    saya setuju dengan kata "menertawakan diri", hal itu perlu diberdayakan di semua lapisan masyarakat agar tidak stress dengan keadaan.

    ReplyDelete