Krisis moneter menyisakan dampak
sosial dan ekonomi yang masih dapat dirasakan hingga detik ini. Dalam buku Krisis Masa Kini dan Orde Baru disebutkan,
“Jatuhnnya nilai rupiah secara mengejutkan dan berentetan sejak pertengahan
Juli 1997 adalah sebagai akibat dari kehilangan kepercayaan secara tiba-tiba
terhadap rupiah dari para investor dan pelaku ekonomi lainnya” (Hisyam, 2003:269).
Konsekuensi dari krisis moneter antara lain adalah timbulnya kesenjangan sosial
dan marginalitas.
Saat ini kata marginalitas banyak
dipakai dan disebut di banyak tempat. Marginalitas berasal dari kata marginal
yang secara etimologis berarti berhubungan dengan tepi atau berada dipinggir. Dalam
konteks masa kini, marginalitas lebih banyak diartikan sebagai keterpinggiran ekonomi
dan identik dengan masyarakat kelas menengah ke bawah yang mana memiliki
penghasilan pas-pasan atau bahkan kurang. Biasanya, masyarakat kelas ini memang
tinggal di pinggiran wilayah metropolitan seperti Jakarta. Maka masyarakat yang
terpinggirkan (kaum pinggiran) disebut juga kaum marginal.
Marginalitas
selalu menjadi isu penting di Indonesia. Tidak sedikit media mengangkat isu
marginalitas menjadi sebuah karya, antara lain dalam bentuk film ataupun
sinetron. Dalam film atau sinetron buatan Indonesia, kita akan banyak menjumpai
peran si kaya dan si miskin (Sabilurrosyad, 2012). Tokoh si kaya biasanya akan
menjadi tokoh yang dominan, jahat, sombong, memiliki gaya hidup berlebihan, dan
selalu mengejek si miskin. Sedangkan si miskin biasanya memiliki wajah memelas,
baik hati, pasrah, tertindas, dan hidupnya selalu diselimuti kesedihan. Dari
sini muncul stereotip mengenai orang kaya dan orang miskin didalam masyarakat.
Anti-mainstream atau berbeda dengan yang
sudah ada, Aris Nugraha dan kedua temannya justru menulis skenario yang
mengangkat tema marginalitas dan menjadikan marginalitas sebagai sebuah cerita
komedi untuk sinetron berjudul Bajaj
Bajuri. Sinetron komedi Bajaj Bajuri
mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan dan menjadi tayangan favorit
selama kurang lebih tiga tahun.
Popularitas
sinetron komedi Bajaj Bajuri di
Indonesia mendorong seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Gadja Mada Yogyakarta, Budi Irawanto, untuk melakukan penelitian tentang
batas-batas marginalitas dalam sinetron komedi Bajaj Bajuri. Hasil penelitian tersebut ditulis dalam sebuah jurnal
berjudul “Menertawakan Kejelataan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam
Sinetron Komedi Bajaj Bajuri”.
Dilihat
dari judulnya, jurnal tersebut sudah menarik perhatian pembacanya. Saat pertama
membaca judulnya, orang akan berpikir bagaimana bisa kejelataan ditertawakan.
Namun saat membaca keseluruhan judul dan membaca Bajaj Bajuri, akan mulai
terlihat maksud dari menertawakan kejelataan. Judul tersebut sudah cukup
mewakili dan sesuai dengan keseluruhan isi jurnal. Selain itu juga memenuhi
syarat sebuah judul agar dapat menarik perhatian dan membuat pembaca mau
membaca keseluruhan isi bacaan.
Susunan jurnal ini cukup teratur.
Penulis memulainya dengan menulis pendahuluan yang mengantarkan pembaca pada
pokok masalah yang akan dibahas. Banyak dicantumkan fakta-fakta menarik dan
penulis juga menyebutkan metode penelitiannya, yaitu analisa tekstual. Metode
tersebut juga digunakan dalam studi penulis mengenai marginalitas anak-anak
jalanan di Yogyakarta.
Jurnal
tersebut dibagi ke dalam empat bagian, belum termasuk pendahuluan dan penutup. Dalam
keempat bagian tersebut dijelaskan secara runtut, lengkap, dan berkesinambungan
hal-hal yang berhubungan dengan pokok masalah yang dibahas.
Bagian
pertama menceritakan pertumbuhan sinetron di Indonesia. Setelah membaca bagian
pertama, pembaca dapat mengetahui sejarah lengkap dan pasang surut pertumbuhan
sinetron di Indonesia, mulai dari sinetron pertama di TVRI pada tahun 1962 (Nasution,
1995:320) sampai pertumbuhan sinetron pascakrisis moneter.
Bagian
kedua penulis mencoba menuliskan mengenai mimpi dan imaji yang ditampilkan
dalam sinetron Indonesia. Pada bagian ini akan terlihat perbedaan pesan dalam
sinetron zaman Orde Baru dan sinetron masa kini walaupun imajinya sama, yaitu
kehidupan masyarakat kelas menengah ke atas di kota-kota besar. Dari kejenuhan
akan imaji tersebut, mulai banyak muncul sinetron Betawi yang menciptakan imaji
kehidupan sederhana etnis Betawi dan masyarakat pinggiran kelas menengah ke
bawah (kaum marginal). Kemudian muncul sinetron komedi Betawi Bajaj Bajuri yang juga sukses mengambil
hati masyarakat.
Batas marginalitas dalam Bajaj Bajuri dibahas pada bagian ketiga.
Dalam bagian ini dijelaskan karakter khas dan unik setiap tokoh dan beberapa
hal lain yang menjadi kelebihan sinetron komedi Bajaj Bajuri dibandingkan sinetron lainnya. Selain itu juga dibahas
berbagai penanda sebagai batas marginalitas, antara lain rumah yang saling
berimpit dan ruang tamu yang dipakai sebagai salon.
Pada
bagian keempat, penulis membahas tentang melampaui marginalitas. Bagian ini
berisi penjelasan istilah “transgresi” dan kemungkinan alasan yang dapat
membuat sinetron komedi Betawi Bajaj
Bajuri begitu digemari masyarakat dan memperoleh rating tinggi.
Jurnal
ini membahas suatu sinetron dengan cara yang berbeda. Kebanyakan penulis lain
menulis tentang dampak negatif sinetron terhadap perilaku seseorang. Selain
itu, informasi yang disajikan dalam jurnal ini sangat banyak dan beragam, mulai
dari pendapat para ahli dalam buku hingga pendapat berbagai tokoh terkenal
dalam surat kabar seperti Garin Nugroho. Semua informasi tersebut semakin
memperkaya tulisan.
Penulis
memiliki kemampuan analisis yang baik untuk menjabarkan hasil penelitiannya dan
membahas masalah dengan cukup tuntas. Antarbagian dalam jurnal tersebut
berkesinambungan dan tetap di dalam batasan masalah yang dibahas. Bahasa yang digunakan mudah dimengerti,
walaupun terdapat beberapa istilah yang jarang digunakan seperti imaji dan
transgresi. Istilah tersebut tidak lupa dijelaskan oleh penulis agar tidak
muncul kerancuan dalam istilah.
Kekurangan
jurnal ini adalah ada beberapa referensi yang dipakai tidak dicantumkan di dalam
daftar pustaka. Sehingga jika pembaca ingin mencari sumber referensi tersebut
sebagai tambahan bacaan akan sedikit kesulitan. Namun secara keseluruhan, jurnal
ini menjadi bahan bacaan yang bagus dan baik digunakan untuk menambah wawasan
dan dijadikan sebagai referensi untuk membuat tulisan lain.
DAFTAR PUSTAKA
Hisyam, Muhamad (Ed.). 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Irawanto, Budi. 2006. Menertawakan Kejelataan Kita: Transgresi
Batas-Batas Marginalitas dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri. Jurnal Ilmu
Komunikasi, Volume 3, Nomor 1, Halaman 49-62.
Nasution, Yusman. 1995. Radio, Televisi dan Film dalam Era 50 Tahun
Indonesia Merdeka. Jakarta: Departemen Penerangan.
Sabilurrosyad, Osyad M. 2012. Drama Korea Vs Sinetron Indonesia.
Accessed 14 December 2012 at 14.39 WIB. Archieved at http://www.koranjurnalpkspd.com/read.php?id=326.
Leo_jelek
ReplyDeleteUraian yang mengelitik memang bila melihat kemonotonan dari apa yang selama ini terjadi. ada banyak hal menarik yang ada disekitar kita yang dapat diangkat. termasuk keluguan dari kaum menengah ke bawah.
saya setuju dengan kata "menertawakan diri", hal itu perlu diberdayakan di semua lapisan masyarakat agar tidak stress dengan keadaan.